Thursday, October 4, 2018

TOPONIMI DUSUN TINARO DESA DUKUHAGUNG TIKUNG LAMONGAN

oleh Mahfud Aly bin Abdul Manan
Secara runtutan asal muasal, babat alas Dusun Tinaro lebih muda usianya, dibandingkan Dusun Klating. Dusun Lenjer, Delik, Pengaron, Joto, Kramat, Cekel, juga Mantub, Sambeng, Modo, bahkan Ngimbang. Tinaro adalah kampung ber-KK 239 (hitungan KK untuk tahlilan), dan 278 (hitungan KK untuk PEMILU 2019), merupakan dusun, atau dukuh terbesar, disusul kemudian Kacangan di bawah pemerintahan Desa Dukuhagung, bersama dusun Lenjer, Dukuh dan Mojoranu.
Secara Toponimi, Nama Tinaro terasa unik dan berbeda, bila dibandingkan dengan dusun lain, yang lebih muda dimengerti. Seperti Dukuh, bermakna Padukuhan, atau Kacangan (dasar: Kacang), pun juga Mojoranu (atau lebih dikenal Rorombo, yang berasal dari oro-oro ombo (padang luas, hamparan sawah yang luas). Maka penulis berusaha merakukan penelitian, dan mewancarai beberapa tokoh generasi tua, tetapi untuk kerahasiaan, tidak mau disebutkan namanya. Pertama, disebutkan bahwa tinaro, berasal dari kata titian werna loro (jembatan bambu berjumlah dua), tetapi mengingat di sekitar dusun tidak ada kali besar atau bengawan, hanya ada kali kecil, jalur air saat musim penghujan saja, sehingga bentuk fisik jembatan bambu, itu susah dilacak kebenaran, keberadaan pun lokasi tepatnya. Penulis telah berusaha mencari catatan, atau cerita lisan (tutur tinular), tetapi sekali lagi, tidak ada jejak sama sekali. Tokoh yang saya wawancarai pada tanggal 26 September 1999, mengatakan bahwa titian werno loro, bukan memiliki makna filosofis, bukan makna biologis, jasmaniah. Ini tentu menarik.
Menurut cerita yang ia dengar dari leluhur, sambung menyambung ke dirinya. Ia mengatakan bahwa titian-werna-loro berarti, pesan konkrit untuk keturunan dusun tinaro, untuk memegang dua kalimat syahadat. Asyhadu alla ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulallah. Dua kalimah sahadat inilah yang dimaksud dua titian berjumlah dua. Bahwa dusun tinaro adalah dusun religious, beragama islam, dan memiliki hubungan social kemasyarakatan yang tinggi. Sifat welas asih, rukun dan pekerja keras, dan selalu menomorsatukan tauhid, dan keimanan, pun keislaman. Berbeda, dengan yang disampaikan nara sumber saya yang berusia (32 tahun, saat saya wawancara pada tahun 2001), ia mengatakan bahwa penjabaran kata Tinaro adalah bukan sayahadatain, tetapi pada ajaran untuk selalu menjaga hubungan baik dengan bendara (Allah), konsep hablu min Allah, sementara titian satuanya adalah ajaran luhur menjaga, memperbaiki dan tidak menciderai hubungan sesama manusia, dan alam semesta (hablum min annas), hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, lalu hubungan baik antar sesama mahluk adalah cikal bakal dan cita-cita luhur, orang pertama yang mem-babat alas dusun tinaro. Wallahu a’lam.
Cerita ini tidak berhenti sampai di sini. Tahun 2005, saat penulis lulus kuliah, sempat ada diskusi dengan salah satu narasumber (K), usia 40, ia mengatakan konsep yang berbeda, nama tinaro berasal dari kata, julukan terhadap tokoh yang pertama kali babat alas di Dusun Tinaro, memiliki sifat, kemiripan keluhuran ilmu pengetahuan dengan Tokoh Islam, yang memiliki sejarah tersendiri, baik ajaran maupun kontroversinya yaitu Syeh Siti Jenar, Syeh Lemah Abang. Tinaro diambil dari kalimat Siti Jenar Ongko loro. (Syeh Siti Jenar II), masih diperdebatkan apakah tokoh ini muridnya, atau hanya sekadar memiliki persamaan ilmunya saja. Tetapi mengingat dulu, di bagian selatan dusun, juga ada jenis lemah abang (tanah merah), dan berjarak 4 KM ke arah tenggara dari Dusun Tinaro juga ada Dusun yang bernama Lemahbang (Lemah Abang), saat ini masuk wilayah administrasi kecamatan Sarirejo, tetapi sebelumnya masuk kecamatan yang sama, Tikung. Baru 13 tahun ini, ada pemekaran wilayah kecamatan. Bahkan berjarak 10 KM ke arah barat daya, juga ada dusun yang memiliki nama “Lemahbang Soko” dan berada pada kecamatan yang sama. Jadi penulis berkeyakinan bahwa secara aturan, pendapat ini menjadi relevan.
Penulis kemudian mencari catatan, dan melakukan penelitian lagi, hingga satu waktu, bertemu dengan Mbah A (71 tahun) pada Agustus 2018, ia mengatakan konsep yang berbeda, berdasar cerita lisan, dan penuturan kiai besar, asal kota J, penuturannya sebagai berikut: Tinaro itu bermakna ‘yen wes pecah dadi loro, baru iso tentrem, aman dan rizki sumambrah,” ucapnya memulai percakapan. “ojo kuatir. Dusun iki ket awal yo rukun, ayem, terus dadi pecah, tukar padu, besalitan, banjur ngunu iso rukun, dadi sawiji, lha baru deso iki maju, aman, tentrem, raharjo.” Iki dadi tugase sing enom, gudu iso makmurno dusun, supoyo iso apik, lan angsal kabegjan.”
Saat penulis berdiskusi panjang dengan sejarawan (J, 53 tahun) justru ia mengatakan, nama awalnya bukan Tinaro, tetapi Kinaro, Kinara, lambat laun menjadi Tinaro, yang berarti titik pertemuan. Desa ini adalah titik pertemuan sesuatu hal yang besar, dan melibatkan tokoh penting, hanya saja penulis sampai hari ini belum bisa memahami. Ia hanya menambahkan kata kunci “jumat legi,” penulis percaya bahwa dari keturunan dusun Tinaro, bisa siapa saja, dapat menemukan jawaban atas teka-teki ini. Apa hubungan antara kinaro --- jumat legi --- tokoh besar – dan titik pertemuan atau tempat berkumpul?
Berangkat dari premis awal bahwa pemilihan nama Tinaro, sebagai nama tempat, dusun adalah konsep yang tidak umum, unik, melebihi masanya, sehingga tafsir-nya menjadi tidak terbatas. Bahkan mengenai nama ini, menulis sempat mendengar pemaparan konsep cocoklogi, cocoklogy science, ilmu mengkaitkan sesuatu dengan sesuatu hanya karena ada kemiripan, dan gotak-gatok dan catatan sejarah, juga cerita getuk tular ada pendapat lagi bahwa, pada masa penjajah Belanda, khususnya agresi militer I, disebutkan bahwa dusun Tinaro adalah kawasan padat pengungsi (akibat peperangan dan alasan lain), dan basis pertahanan akhir dari wilayah lamongan. Penulis mencoba mencari referensi di sejarah kabupaten lamongan, maupun desa lain, tetapi masih belum berhasil. Tetapi jika dilihat secara mendalam, Dusun Tinaro memang memang memiliki pra-syarat sebagai tempat mengungsi tentara laskar pejuang kemerdekaan, dan penduduk. Pra-syarat itu adalah pertama, dusun ini memiliki sumber mata air yang besar, khususnya wilayah barat-selatan dusun ke timur, masjid juga memiliki sumber mata air yang besar, hingga ujung timur dusun. Persediaan air minum adalah pra-syarat mutlak sebagai basis pengungsi dan pertahanan terakhir. Kedua, adanya embung, dusun tinaro berbatasan langsung di arah utara ke barat dengan embung Bireng (berbatasan wilayah desa pengumbulannadi), air ini bisa sebagai persedian mandi, dapur umum, mapun juga pertahanan. Ketiga, tebalnya rumpun bamboo, sebagai batas dusun (pagar kikis), saya tidak mendapati desa lain, memiliki ketebalan rumpun bamboo serupa dusun ini. Di dari arah utara, lebar tanah 50-100 meter, adalah rumpun bambu, sementara sebelah selatan, sekitar 50-150 meter adalah tembok alami berupa beberapa lajur rumoun bambu, saling silang, saling dukung, seperti tembok tebal pertahanan dari serangan musuh.
Sebagai pameo, jika dulu musuh sehebat apapun tidak mampu untuk masuk, ke dusun Tinaro. Saat ini pun berlaku sama, sehebat apapun signal telekomunikasi, atau pun jaringan WIFI tak akan mampu menembus dusun Tinaro. Penulis pun mengalami pengalaman unik ini, betapa sinyal telekomunikasi sangat susah di dusun ini, padahal jarak BTS, atau tower pemamcar hanya 3 KM dari dusun ini, dan satunya hanya 4 KM. Tentu hal ini diakibatkan dari tebalnya rumpun bambu yang menggelilingi dusun ini, hingga abad ke-21 (kecuali ujung barat dan timur, terjadi penebangan bambu skala besar akibat pemekaran wilayah dan pemukiman penduduk). Sebuah warisan yang layak dibanggakan, tentu saja. Sebagai kelanjutan dari catatan sejarah tempat pengungsian ini, maka sejarawan ada yang berpendapat bahwa nama Tinaro, berasal dari kata ‘wa farrat tannur” merujuk pada ayat Al-qur’an, surat alhud ayat 40, yang terjemahannya adalah [40. Hingga apabila perintah kami datang dan tanur (dapur) telah mengeluarkan air, Kami berfirman, ‘muatkanlah ke dalamnya (kapal itu), masing-masing (hewan) sepasang (jantan dan betina), dan (juga) keluargamu kecuali orang yang telah kena ketetapan terdahulu dan (muatkanlah pula) orang yang beriman,” Ternyata orang-orang beriman yang bersama Nuh hanya sedikit.]
Dari Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi revisi 2007 dikatakan bahwa tanur /ta-nur/ n 1. Tempat pembakaran (kapur, dan sebagainya); perapian, kompor, dapur, pawon (jawa), 2. Keran. Dapat penulis simpulkan bahwa tanur adalah sebuah benda, serupa dapur, entah besar, dapur untuk pembakaran besi atau timah, kapur di perusahaan besar, entah kecil, berupa kompor atau pawon tradisional yang dalah kisah Nuh dan bahteranya, akhirnya mengeluarkan air, sebagai permulaan banjir nabi Nuh. Jika pemberian nama Tinaro berdasarkan kata ‘tanur’ maka bisa ditemukan korelasinya, mengingat sumber air besar di dusun ini juga ada, dan mungkin di masa depan akan ditemukan lagi, sumber air yang jaub lebih besar lagi. Tetapi jika ‘tanur’ hanya dimaknai seagai dapur, maka juga berkaitan erat dengan adanya gelombang pengungi yang banyak sehingga diperlukan dapur umum. Sampai di sini penulis kemudian memberikan kaitan akan pendapat J (53 tahun) tentang istilah kinara, kinaro yang berarti titik kumpul. Jika sewaktu-waktu, ada serangan, entah penjajah, hewan liar atau ada pagebluk (wabah penyakit), bencana alam atau alasan lain, maka jalur evakuasi jaman itu bisa jadi adalah dusun Tinaro sebagai titik kumpul, atau jalur penyelematan, entah sementara atau menetap selama dibutuhkan.
Secara wilayah, [penulis sudah menuliskan di blog]; di sebelah barat laut, Dusun Tinaro berbatasan dengan waduk atau embung Delikguno (Bireng), bahkan sebelah barat dusun, hanya berjarak satu meter adalah sudah wilayah adminitrasi agraria tanah Delikguno. Sebelah utara, tanah Tinaro berbatasan dengan Mumbulan, Delikguno, Karangpilang dan Tambakrigagung; di sebelah timur laut, tanah Mojoranu; sebelah timur, berbatasan dengan tanah Besuki dan Bendil; Tengara, berbatasan dengan tanah Dukuh dan bendil serta lemahbang. Selatan, dan Barat Daya berbatasan dengan tanah Dukuh dan Dermo.
Setelah bicara toponimi, berardasarkan sejarah, wawancara dan penelusuran akan catatan dan tutur tinular dari beberapa sumber, kini saatnya penulis membahas legenda, mitos, mistis dan sesuatu yang di luar nalar, berkaitan dengan Dusun Tinaro. Penulis menyakini bahwa mitos ini termasuk salah satu jalan masuk, titik awal untuk mencari kaitan peristiwa, kejadian, atau cerita mitos untuk dihubungkan dengan penamaan dusun, yang unik ini.
Pertama, bersadarkan tutur tinular, cerita tutur dari mulut ke mulut, sejak jaman periode awal hingga jaman lurah (kepala desa) H. Toyyib, ayah dari Haji Harun Toyyib, dusun bahkan desa Dukuhagung, terkenal aman, tenteram, dan tenang. Tidak ada gangguan, atau apapun terkait keamanan dan ketertiban. Mitos yang berkembang kemudian, bahwa dusun Tinaro, khususnya, adalah apabila ada orang berniat buruk (maling, rampok, begal, bromocorah dsr) memasuki Dusun Tinaro saat malam hari, maka ia kesulitan untuk menemukan dusun ini. Menurut penglihatan mereka, dusun ini berubah menjadi kumpulan air yang sangat banyak (embung), dan air ini bukan makin surut, tetapi semakin meluas, sehingga membuat mereka ketakutan dan lari tunggang langgang. Ini adalah kearifan lokal, mitos yang berkembang yang tidak bisa dipercayai kebenaran, dan keakuratan datanya. Hanya saja ada satu fakta bahwa H Toyib, setiap malam, berkeliling dusun, membaca wirid, sebagai penolak balak dan pagar pelindung desa. Beberapa saksi mengetahui dan membenarkan fakta ini. Mbah Kamin, Mbah Kasan, Mbah Bayan Pojo, dan Mbah H Tuwen, Mbah H. Kasturi, dan ayah penulis sendiri (H Nawi).
Kedua, berdasarkan keyakinan dan cerita dua narasumber, meyakini bahwa sejak semula, awal berdirinya dusun Tinaro adalah dusun Islam, artinya sejak dibangun bertama kalinya, dusun ini adalah komunitas agama Islam, yang pelan-pelan berkembang, dan menjadi dusun seperti saat ini. Menurut penulis itu adalah mitos, karena tidak ada catatan, atau sumber sejarah. Fakta sejarah yang umum adalah tanah Jawa, sebelumnya adalah pemeluk kepercayaan, jawaisme, kejawen, kemudian animisme, dinamisme, lalu hindu budha, baru kemudian kedatangan Islam. Faktanya di Dusun Tinaro, pada era jaman awal hingga tahun 1965, sampai tahun 70-an, ada satu punden berundak dan lumping batu andesit sebagai tempat pemujaan aliran kejawen. Sampai satu waktu, sekitar tragedy 1965, ada gerakan pembersihan, dan lumping batu andesit atau lingga, kemudian dibelah menjadi dua. Satu bagian dibuat babakan (tempat ambil wudlu) di kedung samping masjid, saat ini, posisi-nya berada di bawah pondasi masjid Jami Nurul Huda, bagian selatan. Sementara satunya ada di sebelah tanah kosong, timur Rumah H. Kunawi, posisi saat ini, tentunya di bawah tanah, di bawah pondasi kandang sapi milik saudara lelaki penulis, H. Nurhasan, yang membeli tanah dari budhe penulis. Untuk posisi punden berundak, sengaja penulis tidak jelaskan lokasinya secara tepat. Ini adalah catatan sejarah, dan sebagai pelajaran untuk generasi mendatang.
Jika kita mencoba mereka dari beberapa infomasi tentang berapa umur dusun Tinaro. Jika dari penuturan narasumber, dipastikan bahwa dusun ini jauh lebih muda dari dusun Klating (Desa kelahiran tokoh besar di Gresik, Sindujoyo), dan lebih muda juga dari desa Mantub (sekarang kecamatan), masa Sunan Sidomargi. Sekitar masa awal masa Sunan Giri IV (Sunan Prapen) berkisar 1550-an, sementara hari jadi Kota Lamongan (secara adminitratif adalah 26 mei 1569 M). Tentu saja, Lamongan ada setelah era Dusun Klating, dan penentuan hari jadi berdasarkan Pengangkatan Adipati Ronggo Hadi (Asal dari Desa Cancing, Ngimbang) menjadi Adipati Lamongan I, yang diangkat oleh Sunan Giri IV, Sunan Prapen. Jadi bisa disimpulkan bahwa desa-desa di sekitar Lamongan telah ada, sebelum pengangkatan adipati, di Kadipaten Lamongan. Tetapi pernyataan ini adalah dari mereka yang meyakini bahwa Dusun Tinaro sejak awal berdiri adalah dusun Islam.
Tetapi dari temuan punden berundak disertai lumpang batu andesit atau lingga, maka dapat diperkirakan bahwa umur dari dusun ini tentunya lebih tua. Yaitu kisaran 1257-1300 Masehi (abad ke-13) karena menurut data sejarah, bahan baku pembuatan altar pemujaan, lingga yoni, dan candi berbahan batu andesit adalah material letusan gunung api terbesar sepanjang sejarah umat manusia, melebihi besar letusan gunung Tambora (1815), atau letusan gunung Krakatau (1883) yaitu meletusnya Gunung Samalas, di Lombok. Saat ini hanya tinggal puncak yang aktif, tetapi lebih kecil dari gunung Salamas, yaitu puncak gunung Rinjani dan menyisahkan kawah besar yang disebut kawah Sagara Anak. Bahkan dampak peristiwa ini tidak hanya berakibat buruk paa tanah Jawa atau Indonesia, tetapi seluruh dunia.
Maka dapat diperkirakan bahwa rentang umur dusun Tinaro berkisar abad ke 14, (1390 M) adalah lebih diterima, tetapi masih berupa desa kejawen, atau penganut animisme, atau kejawen, yang kemudian berubah menjadi dusun Islam di masa Sunan Giri 1 sekitar tahun 1487-1569, dan semakin Berjaya di masa Sunan Giri IV yaitu sunan Prapen. Jika dihitung sampai saat toponimi ditulis (2018), maka diperkirakan umur dusun Tinaro adalah 2018- (angka tengah 1500): 518 tahun.
Hal ini mempengaruhi pada pola tradisi “ziarah sunan Giri dan Prapen” hingga masa sekarang. Setiap musim kemarau, mau memasuki musim penghujan (labo), penduduk Dusun Tinaro dan sekitarnya, selalu melakukan ritual bersyukur dan berdoa, sebelum ritual wiwit nggadu (mulai tanam padi) dengan mengziarahi makam Sunan Giri dan Sunan Prapen (Wajib), sementara menziarahi Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim Gresik, seakan tidak wajib. Bahkan penurut cerita penulis, H. Nawi (Abdul Manan) dan Juni, tahun 60-an hingga 70-an, penduduk rela berjalan kaki, sepanjang 40 KM dari Lamongan (Tikung) ke Gresik (Giri), biasanya mereka berangkat siang hari (14.00), lalu berjalan kaki, beristirahat di Kecamatan Duduk Sampeyan (Gresik), salat ashar, lalu melanjutkan jalan lagi, Magrib mereka salat di masjid Sumber (bertalian dengan Sindujoyo – leluhur orang Tikung), lalu nyekar ke Sunan Prapen, dilanjutkan salat isya di masjid Sunan Giri, mereka lalu nyekar ke Makam Prabu Satmata Ngainul Yakin, dan berkhalwat, berdzikir dan menginap di kompleks makam, baru meninggalkan Giri setelah salat subuh, mereka melanjutkan perjalanan ke Pasar Gresik, kea rah daerah Lumpur (Jl. Sindujoyo), untuk menyekar ke Makan Sindujoyo.
Awalnya penulis merasa heran, mengapa orang Tikung tidak nyekar ke Sunan Muria (Banjarwati Drajat Paciran), karena itu adalah sunan dari wilayah Lamongan. Tetapi penulis kemudian menyadari bahwa Sunan Drajat berjuang menyebarkan Islam di wilayah pesisir utara. Sistem penyebaran Islam sunan Drajat adalah sistem pesantren, ngaji, kesenian, dan sosial ekonomi baik nelayan maupun pertanian. Maka penyebaran islam ala sunan Drajat, tidak sampai masuk ke Wilayah Tikung. Tentu berbeda dengan dakwah Sunan Giri, mengingat Giri kedaton adalah kerajaan, maka secara politik, dapat dipastikan Tikung (sekarang), Klating, Tinaro, Mantub Kembangbahu adalah daerah kekuasaan Giri kedaton. Sehingga orang Tikung merasa nenek moyang agama mereka adalah Sunan Giri, dan keturunanya.
Kesimpulan penting, bahwa pembagian wilayah adminitrasi antara jaman dulu dan jaman sekarang tentu berbeda. Tetapi tradisi adalah peninggalan leluhur yang harus terus dilestarikan, selama itu baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam, serta bisa dimodifikasi, diperbaiki lagi. Bersyukur penduduk Dusun Tinaro tetap melakukan ritual berziarah ke Makan Sunan Giri hingga saat ini, dan penduduk saat ini, tidak hanya berziarah ke Giri, tetapi juga Sunan Ampel, Wali lima (5) bahkan wali Sembilan (songo). Kadang juga ditambah ke tempat wisata, atau Makam Maulana Ishak (Ayah Sunan Giri). Hal itu membuktikan tentang adanya ikatan mendalam antara penduduk tikung dengan sunan giri dan keturunanya. Wallahu a’lam.
Tinaro, 16 Agustus 2018.
Mahfud Aly Ayah dari Dzafira Humaida Annisya dan Rizwan Rasyeed Muhammad
Referensi
Abdullah, T. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Jakarta: Gajah Mada University Press
Camelia, Mahabbatul. 2002. Toponimi Kabupaten Lamongan (kajian Antropologi Linguistik). Dalam Parole Vol.5 No.1, April 2015 halaman 73-82.
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Kristanti, 2013. Ledakan Dahsyat pada 1257 Berasal Dari Lombok. Global. Liputan6. http;m.liputan6.com
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Mardiana, Wiwik. 2014. The Sapir-Whorf Hypotesis and Toponomy Study: Place Naming Using Javanese Language. Konfresi Linguistik Tahunan Atmajaya tidak diterbitkan
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan 1994. 1994. Lamongan: Memayu Raharjaning Praja. Lamongan : Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Lamongan
Tim Peneliti dan Penyusun Sejarah Sunan Drajad. 1998. Sejarah Sunan Drajad : Dalam Jaringan Masuknya Islam di Nusantara. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Prasasti, Nanik. 2006. SEJARAH PERKEMBANGAN KAWASAN LAMONGAN (1569-1942). Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
Zed, M. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.

No comments:

Post a Comment